EMAK,.

mak,..
tabung elpiji mledak lagi
nyawa mlayang tinggi sekali
padahal standart luar negeri
tapi sayang..
Malaikat maut lupa bawa SNI

mak,..
Mending masak pake kayu
tapi hutan semakin kuyu
minyak gas berdendang merdu

mak,..
Ayo Kita makan direstoran
cepat saji,enak dan aman
lebih dulu kita jual petegalan

mak..
Kenapa diam?

Pulang dari restoran
toh sebentar lagi mati
jawab emak sembari pergi

DONGENG KAKAK pada ADIKNYA

adikku
dulu,.
moyangmu tak mengenal tulisan, baca buku
pantatnya hitam-kelam keras seperti batu
pun tak pernah tahu lunaknya bangku-bangku
jemarinya kokoh kekar dengan tapak mengapal
mengikis gagang cangkul saban hari kian hafal
alam adalah bagian dirinya terus dikenal
kebijaksanaan menyembul dari tanah yang gatal

adikku
kini,..
jemari lentikmu mengenal tulisan
tebal kacamatamu telanjangi pelajaran
pantatmu halus selalu akrab bergandengan
marmer putih-pucat dan bangku-bangku sekolahan
tempurung otakmu penuh ilmu pengetahuan
banyak ditimba dari negeri berperadaban

adikku
ingatlah
ilmu pengetahuan telah mengakar-mengeram
dalam tempurung otakmu yang muda-belia
pintar-pintarlah menyalurkannya dalam dada
akrabilah juga kenyataan jangan sesekali terpejam

karena otakmu bukan comberan

adikku
pengetahuan disuling dari kenyataan
kenyataan di rubah oleh pengetahuan
hati-hatilah
perselingkuhan keduanya mewujud kekuasaan
baca dan robeklah keduanya dengan kuasa-pengetahuan

adikku
kebijaksanaan
bukan lahir dari seberapa banyak kau kumpulkan
dari menghafal dalam buku-buku pelajaran
juga bukan dari kata guru seolah kalimat Tuhan

akan tetapi adikku
dari seberapa tanganmu mampu
menjumputi potongan-potongan kenyataan
kau serap sarinya hingga tandas
kau alirkan pada mereka berwajah melas
tertindas
dan terlindas hingga tuntas
merdeka dan bebas

adikku
tidurlah
bermimpilah menjadi diri sendiri


*REFLEKSI HARI ANAK*

ADU BULAN PADA PERDU

sulur kelam merambat pelan
merangkai kembang sedap malam
kelopaknya merampas seiris bulan

malam cemburu
bujuk-rayu-mengadu pada pucuk perdu
bangunkan kumbang dan kunang2
jelmakan laiknya sekerat bintang

telah aku layangkan kerinduan
sebagai pengantar kembang berkelopak bulan
terselip dipembuka amplop surat
bercap petanda cinta pd pembuka kalimat

akan tetapi,..
dalam diam, segera dan tiba-tiba

cahaya binar sekerat bulan
berderai; runtuh; melayang gemulai
menjerit; isak tangis menitip pada gerimis
pancaroba menyaring;
tiba dipelataranmu sekejab kering

kerontang memangsa pijar air mata
entah,..
semua tiba seolah rahasia

tanpa peta; langkah tersuruk
sesekali merunduk-takluk
membentur seketika tersungkur
seleret luka mengalur-bilur

SEKERAT BULAN

awan menggurit selembar bulan
hanya tinggal sebagian
sisanya dicampakkan ke comberan

biarlah
kerat separuhnya
aku rebut dari langit segera
aku pahat menjadi cermin-kaca
diam2 aku taruh disudut kamarmu
menemanimu ibaratnya aku
keluh kesahlah padanya jika kecewa
menangislah didepannya saat berduka

tapi
jangan kau menghardik
apalagi melempari amarah hati
tentu dia segera retak
pecah-musnah berderai

*selembar bulan itu adalah aku*

FAJAR TAK MEKAR

fajar terkapar
debu asap sebentar mekar
orkestra mesin pabrik,hingar-bingar
arak2an buruh menyisir-mengusir lapar
meradang;panas aspal jalan membakar
terantai wajah bringas dan otot-otot kekar
penjara tak sadar-nalar

cinta dipendam dalam-dalam
resah direnggut keringat berasa masam
menjelma setubuh satu malam

fajar dan senja cintalah ditengah
mewujud intan dan permata
hati basi di lontar ke tong sampah
jiwa melepuh,ringkih terus menghiba
telat!!
cintanya adalah kerja tak kenal siapa

*manusia tak beda sekawanan binatang*

CINTA, LATTA wa UZZA

kuremajakan kelam
ku pahat sosok senyum malam
bibir perempuan seindah pualam

tapi sayang
orang bodoh menyembahnya
laiknya berhala

AKU, MALAM dan FACE BOOK

catatan masa silam,..
Malam menurut saya adalah bagian dari keseluruhan waktu yang terfragmentasi; ada pagi, siang, sore dan juga malam. Malam ditandai saat matahari telah bergeser dan hilang di ufuk Barat. Bumi kehilangan sumber cahaya yang membantu mata untuk mengenali, membaca sekaligus mengidentifikasi segala fenomena yang ada disekitarnya. Mata sebenarnya salah satu ujung tombak atau dengan kata lain gerbang untuk menyerap pengetahuan yang kemudian diinternalisasi menjadi ilmu dalam konteks lebih lanjut, tentunya tidak serta merta, akan tetapi ditunjang dengan beberapa aspek metodologis lainnya.

Mekanisme secara biologis, hubungan cahaya dengan mata merupakan hubungan yang bersifat timbal balik, hubungan yang dinamis ini akan menghasilkan bagaimana mata mampu menjalankan fungsinya; sebagai indera penglihatan. Proses sederhana bagaimana mata bekerja sama mengantarkan cahaya dari sumbernya menuju ke otak untuk dapat dicerna oleh sistem syaraf kemudian mampu melihat dan mengenali objek sekitar; dimulai dari kornea yang berfungsi sebagai penerima cahaya dari sumber cahaya, kemudian diteruskan ke pupil yang pola kerjanya menyaring sekaligus menentukan kuantitas cahaya, mengoperasikan cahaya mata disesuikan dengan kondisi lingkungannya; dalam kondisi yang terang mata akan melebar, sebaliknya dalam kondisi yang gelap secara otomatis mata akan menyempit, mekanisme ini disebut sebagai iris, yaitu bagian mata yang berfungsi sebagai diafragma. Selanjutnya dari iris akan diteruskan ke retina kemudian ke syaraf optik baru masuk dalam otak.

Dari proses serta mekanisme biologis gerak mata mampu mengenali objek ternyata tergantung dari cahaya, ini tidak berarti bahwa cahaya lebih penting dari organ mata ataupun sebaliknya, justru yang lebih penting adalah, bahwa kerja sama antara keduanya mampu membentuk pengetahuan dalam diri kita. Pengetahuan tentang benda-benda, tumbuhan dan hewan yang ada disekitar kita.
Pengetahuan tentang duri misalnya; melalui mata kita melihatnya sebagai sesuatu yang tajam, biasanya dari bagian hewan (ikan) atau tumbuhan tertentu, saat tidak sengaja terinjak kaki, akibatnya akan berdarah, dan kemudian diikuti dengan perasaan pedih dan perih. Hal ini menandakan bahwa dalam kondisi tertentu, kemampuan melihat akan mengakibatkan semacam pengalaman merasakan, pengalaman merasakan sakit itu bersifat intuitif dan non-empiris akan tetapi bisa disebabkan oleh sesuatu yang empiris.

Kita kembali pada pokok pembahasan kita. Malam selain diindikasikan sebagai keaadaan yang gelap karena tidak adanya sumber cahaya (matahari), juga ditandai dengan standart waktu yang berlaku, di surabaya malam ditunjukan mulai pukul 18.00 Wib. ketiadaan sumber cahaya (matahari) tidak dikarenakan tertutup mendung atau kita berada dalam terowongan atau ruangan yang tertutup, akan tetapi gerak matahari telah meninggalkan poros bagian bumi kita secara alami.

Bagi sebagian orang, malam dianalogikan sebagai ladang minyak yang harus dikuras habis isinya; para maling, garong dan penyamun adalah para penguasa malam. Mereka beroperasi saat malam tiba, malam sebagai waktu potensial yang mereka manfaatkan sebagai moment paling tepat untuk mengumpulkan harta kekayaan. Selain sebagai waktu potensial, malam bagi mereka juga sebagai tabir yang sangat efektif untuk menyelamatkan diri. Lihatlah bagaimana beberapa kali para penegak hukum, tidak mampu menemukan dan mengendus jejak pencuri saat malam hari. Malam seolah melindungi mereka, menghilangkan jejak langkah yang ditinggalkan, juga menghapus warna kulit, tinggi dan ukuran badan dari mata pemburu mereka. Karena mata secara natural tidak akan mampu menerobos jejaring yang disediakan oleh malam, walaupun mata polisi atau satpol-PP sekalipun. Mata manusia tidak seperti mata burung hantu yang mampu menerobos pekatnya wajah malam.

Malam juga bisa dianalogikan sebagai kondisi mental tertentu, para penyair misalnya banyak menggunakan malam sebagai pewarna sekaligus fokus dalam karya-karya mereka. Malam dengan berbagai macam susana yang melingkupinya, mampu memunculkan inspirasi serta ide-ide yang segar, seperti sebuah sajak yang aku temukan tidak sengaja dalam salah satu blog di internet; malam ternyata mampu memberinya semacam ilham bagi orang yang suka merenungi dan merefleksikannya, sehingga menjadi tulisan dengan untaian kata-kata yang manis.

Sajak yang ditulis oleh Rahmat Halim ini menurut tafsiran penulis sekilas, diwujudkan saat malam, malam dengan kegelapan wajahnya saat para pencuri dan penyamun merayakan pesta pora dari hasil mendulang minyak, entah milik siapa, malam yang bagi seorang yang shalih bersujud dihadapan Tuhannya, dengan lambaran air mata dan rintihanya, malam yang bagi para pembesar negara-negara kita telah sibuk merajut mimpi hingga datangnya pagi.

Malam bagi Rahmat halim, tidak hanya sekedar malam, akan tetapi semacam telaga makna yang tersembul dari kedalaman perasaanya dan jiwanya.

Dalam Kegelapan Malam..
Dalam kegelapan malam..
Kumendengar gemericik air yang menenangkan jiwa
Membentuk sebuah simponi alam dalam kegelapan
Seperti memainkan lagu sendu
Diantara kekosongan hatiku

Dalam kegelapan malam ..
Kurindukan mentari dengan cahayanya yang sombong
Merasuk masuk kedalam jendela kaca
Mengirimkan sinyalnya akan datangnya pagi
Menghentikan alur dari mimpi indah tentangmu
Dalam kegelapan malam..
Kumainkan jemariku pada sebuah gitar tua
Diiringi angin yang bersiul diantara [...]

Sementara bagi penulis sendiri, malam, dalam moment tertentu, kehadirannya mampu menjadi penyebab kehadiran yang lain, narasi yang terjadi dalam kenyataan menyebabkan kesakitan dan keperihan dalam ruang batin. Cerita tentang dirinya (walaupun dalam beberapa hal hasil olahan pikiran dan imajinasi) menyebabkan air mata penulis tumpah, dengan perih yang kualitasnya lebih seribu kali dari telapak kaki tertusuk duri. Tidak jelas apakah kenyataan (kejadian yang sebenarnya) ataukah hasil olahan imajinatif, bahkan gabungan antara keduanya—kenyataan sebagai dasar—kemudian diolah dalam pikiran yang menyebabkan peristiwa batin demikian? Ataukah ada sebab lain yang menjadi elemen substansial ? tinggal dari mana sudut pandang kita mengarahkannya. Tapi yang jelas, malam adalah waktu yang tepat saat semuanya terjadi, saat bagaimana pikiran kita melayang entah kemana, saat imajinasi kita menembus ruang dan waktu, saat kedaan batin kita merasakan kesan yang dalam. Malam menjadi semacam ruang beroperasinya pikiran, imajinasi dan hati, malam seakan menjadi puncak penyatuan antara ketiga pengalaman tersebut.

Dalam beberapa tulisan status penulis dalam facebook. Cerita tentang malam seolah tetap konstan dalam kehidupan penulis secara subyektif, tidak pernah terputus oleh pagi, siang bahkan sore. Malam menjadi eksistensi ruang tersendiri tanpa disebabkan oleh munculnya matahari. Malam telah menjadi analogi keadaan batin penulis.

Catatan:
Dimulai 09 Januari jam 22:08, dalam dokumen catatan status tertulis, DUH GUSTI, DADAKU KEMBALI BERGEMURUH!!!.
Waktu menunjukan pukul 22:08, saat pikiran penulis menyadari kenyataan sepenuhnya bahwa seseorang berdekatan dengan orang lain yang telah diikat dengan ikatan formal. Dari sini pikiran penulis membentuk narasi cerita yang bersifat egois dan sentimentil. Akibatnya seolah satu duri telah menancap dalam batin, kesakitannya memang belum seberapa, akan tetapi imajinasi seolah terus berambisi memenuhi tubuh penulis, hingga memunculkan status selanjutnya, MALAM JAHANAM!! (09 Januari jam 22:39)
Malam masih saja belum beranjak, malam dalam artian yang sebenarnya, jam menunjukan pukul 22:39, akan tetapi kepekatannya telah merambah keseluruhan batin. Imajinasi penulis telah benar-benar menguasai keseluruhan apa yang ada dalam diri penulis sehingga tak ada sedikitpun celah dan lubang yang tak berhasil disergapnya, tidak terkecuali dengan hati. Imajinasi sebagai penyebab rasa sakit, sementara kenyataan sebenarnya bergeser ke pinggir, tergerus dan hilang sama sekali. pada titik ini imajinasi seolah menjadi kebenaran atas apa yang terjadi. Imajinasi menjelma kenyataan itu sendiri, dan kesakitan sebagai penyebab yang mengikutinya menjadi anak emas yang terus ditimang dan minta selalu dimanja.

Dari peristiwa dan keadaan batin diatas, memunculkan kenyataan yang bersifat inderawi, dalam catatan status penulis tertulis begini;
ADA TETES AIR MATA DIUJUNG SAJADAH. ADA TANGISAN YANG MENGOYAK NERAKA. ADA KESEDIHAN MENJEMPUT KEMATIAN (09 Januari jam 23:12)
Teks diatas ditulis dengan verbalitas bahasa dengan makna yang sebenarnya, juga dengan bahasa metaforis dengan makna yang hanya mampu mendekatinya. Kalimat "Setetes Air Mata", adalah representasi dari bahasa verbal, maknanya mengikuti kalimatnya, artinya memang benar-benar meneteskan airmata (menangis), sementara itu totalitas kepasrahan pada akhirnya menemukan muaranya, "Sajadah" sebagai analogi dimana dan kemana kapasrahan atas kenyataan batin itu dialamatkan, saat tak lagi ada seseorang yang mampu memberikan rasa lain selain kesakitan yang terus bertambah dan berkecambah. Satu-satunya sandaran yang pantas dan patut adalah Tuhan.

Perpaduan dua tipikal bahasa diatas diwujudkan penulis dengan maksud sebagai ejawantah dari kondisi batiniyah penulis. Setting malam hanya sebagai lambaran narasi dan terlebih jauh lagi sebagai kondisi yang menyelimuti batin dan pikiran. Saat mata batin dan mata pikiran sudah tak mampu lagi melakukan fungsi sebagaimana mestinya, lagi-lagi malam sebagai tabir kepalsuan (kata bang haji) sebagai penghalang sekaligus merepresi potensi kekuatan yang dimiliki oleh pikiran, juga sebagai kesadaran palsu (kata bang marx) sehingga kenyataan yang sebenarnya (karena bisa jadi "seseorang" yang telah penulis ceritakan mengalami seperti apa yang penulis imajinasikan, atau bisa jadi tidak mengalami) tertutupi kebenarannya.

Persekutuan malam dengan daya khayal (imajinasi) membentuk apa yang dinamakan "perang batin", dan "perang batin" dalam kemampuan tertentu bisa dibuat sebagai elemen pemaksa seseorang semakin kreatif, atau paling tidak dianggap sebagai orang yang mampu menulis sajak. Bukankah menjadi wajar, seseorang yang patah hati, atau kegagalan dalam bermain cinta mampu menuliskan berbagai macam sajak sampai berpuluh-puluh, dengan tema yang sama, juga dengan bahasa yang sama, yaitu "sakit", saat kondisi normal dia tak mampu melakukannya, bahkan nyaris dia tidak pernah berfikir bahwa dia mampu menulis itu.

,….dimana malam saat "persekutuan" lebih mungkin terjadi,
"persekutuan" Mahluk dengan Tuhan tak terkecuali.
Sebaliknya,…
"persekutuan" Mahluk dengan Iblis akan juga terjadi sewajarnya
…semoga saja, begitu kira-kira,..

AIR MATA KATA

beberapa tetes air mata
tumpah
alirkan sebak; gundah
yang mendekam sekian lama
dalam palung dada

beberapa tetes air mata
tumpah
bocorkan rahasia lara
yang menggelayut dalam jiwa

beberapa tetes air mata
tumpah
melahar dibahu sebelah
hangatnya dinginkan bara

beberapa tetes air mata
tumpah
mewujud pertalian rasa
walau mustahil mengecap adanya

SENJA

senja,maaf aku tak lagi kirim puisi
resah terlanjur menggeletari hati
mataku rabun;cepat terhujam kelam-pekat
menjaring tubuhku;limbung,terjebak pukat
sore ringkih,cahya camerlang sebentar pucat
menyumblim aku dengan desau kepak lirih sriti

senja,maaf aku tak kirim sajak
kerinduanku selainmu mengoyak-retak
wajah kekasih murung diujung cakrawala
kau izinkahlah,mengecupnya sekelebatan saja

senja
janganlah kau cemburu
aku dan dia sebenarnya satu
jadi terasing,berbeda,terpisah waktu

kekasihku
kau simpanlah kecupanku

saat bulan penuh
kau kembalikanlah padaku

sekalian dengan bunganya

NYANYI API

api
tolonglah, enyah sejenak
tambur dada telah cepat berdetak
jangan kau libas nyalamu-panas
karena akalku mampu menjelma karang-padas

api
tolonglah, enyah sejenak
karena aku mampu membakarmu
dengan kobaran amarahku yang biru

api
tolonglah, sebentar minggir
beri jalan ketenangan aliran air

TUHAN, ADA-ku Semu

Memintal kekosongan dari sari birahi
beradu angkuh nyalang perempuan malam
iblis mengibar Bra dan Celana Dalam kusam
di altar persembahan;Tuhan hanya memuji
mengangguk sembari bersuara lirih
"Aku hanya berteka-teki"

tubuh tiba menggelepar
meradang kenihilan menghalang
separuh jalanku lumat terbakar
menyambar kebenaran disudut ruang
sembari mengguris lontar
"Tuhan,separuh diriku hanya wayang
selebihnya bayang-bayang"

RENUNGAN PENYESALAN

kau maafkanlah aku
tapi jangan bunuh dulu
sebelum kata yang sama kau alamatkan padaku

kau maafkanlah aku
tapi jangan tikam jantungku
sebelum selembar senyum bergelayut di bibirmu

kau maafkanlah aku
tapi jangan menghapus aku dari hatimu
sebelum tumpah air mata kerelaanmu

kau maafkanlah aku
ku layangkan juga pada Tuhanku

*dan sekarang lakukan apa yang kau mau*

RAYUAN PAGI DENGAN TEMBANG KINANTI

pagi buta
berlomba sedekah bersama pemulung
mengais nasib baik; menjumputi untung
biarlah dia bawa sekeranjang nilai sisa

aku hanya butuh laiknya sebait puisi
tak apalah
dikoran pembungkus nasi basi
dalam kaleng penyok tak berisi
dan di knalpot mobil bekas politisi

bukan puisi cinta yang aku cari
karena cinta lama teranyam birahi

juga bukan tentang kerinduan
karena alpa menghapus dari ingatan

hanya kehangatan mentari
yang terseduh dalam adonan secangkir kopi
bersama sebaris tembang kinanti

"sliramu manjing marang ati"
(kau menjelma di hati)

SAKIT

tangan-tangan maut melambai di mataku
dengan kulum senyum, bibir tipis selalu basah
menggodaku mendekat kemudian direngkuhnya
padaku dia bilang cinta, sembari tertawa
kemudian menggandeng tanganku
melalui hatimu yang beku

dipetiknya bunga
masih kuncup berkelopak wajahmu

"ciumlah"
katanya lirih di telingaku

"ucapkan selamat tinggal padanya"
aku hanya diam, meragu

jemarinya lentik mengusap daguku
"jangan takut, dia takkan berani menantangku"

"biarlah kau tanam air matamu disini
sebagai pengganti bunga yang kau gagahi"

marilah
pintu sebentar tertutup

dan akupun terbang, hilang
bersama maut berkendara duka

SELAMAT PAGI SURABAYA

selamat pagi surabaya
saat embunmu meringkik di trotoar jalan kota
kabutmu terhempas sisa panas aspal kemarin lusa
sebelum surya kemuning membelai, merengkuhnya dengan mesra

hanya tertinggal gemelantung, di sudut bibir
bertengger di pojok mata, anak-anak jalanan yang masih meringkuk
memeluk kedua kaki, didekap dingin dan debu yang kelabu.

selamat pagi surabaya
kotaku yang menawar canda,
maut dan duka.

SAJAK SELAMAT TINGGAL

aku sapa engkau dengan nyala rasa
meliuk resah ditiup angin senja dari celah jendela
berdegup jantung,amelawan denting kata
kau sauhkan di ujung cakrawala

bukankah kemarin malam telah aku tuliskan sajak selamat tinggal?

sisa coretanya masih membekas di atas kertas
kemudian aku gantungkan di atas langit berwajah pucat
mewarnainya dengan darah janji dan semangat lelaki

selamat tinggal, jangan berduka
karena aku terhempas air mata

SAYANG

sayang
malam memaksa mengayuh kaki dengan jiwa kosong dan sunyi
menyusuri garis2 pekat yang tenggelam bersama perih
penyair murung gontai dengan tubuh dan perasaan membusuk
terus melawan wajah sayu yang sebentar remuk

tak lupa mengaitkan wajah seolah gemintang
pd pucuk pohonan yang ringkih sebentar tumbang

sayang
aku juga punya mimpi, rapi tersimpan di saku kiri
biarlah menjadi harapan terahir sebelum selembar nyawa ini lari

PERIH

Sajak ini ku tulis sembari berpeluh,
kertas kusam yang kelabu dan sebentar
menjadi abu
pena tanpa jubah, hanya ujung runcingnya
mencoret resah
tanganku menggeletar, dalam cahaya suram kamar

seutas sinar meradang celah genting,
menggayuh mataku yang kian nanar
menerobos dada,
degup jantung,
menafsiri hati

perih,..

tanpa darah, mustahil ada luka
tak tampak racun, jelaslah tak perlu pemunah

perih,..

SAJAK-PUISI-EREKSI

puisi bukan kembang

Sajak bukan ilalang

dan syair bukan dedaun kering berguguran

Dengan kata mendayu, merayu

membetot sukma,

jiwa manusia yg tandus

kemudian menuangkan kalimat cinta

yang disuling dari birahi,

tapi sajakku bukan muara bunga

yang terluka


adalah sajakku adalah tafsir diri pribadi

manusia yang gelap dan pengap,

yang direpresi dan rapi tersembunyi


Sajakku seolah obat lelaki

yang tak lagi mampu ereksi

HARGA CINTA

Dua wajah;
satu menggurit luka, yang lainnya menyelam air mata
satu menghiba, yang lainnya menyulam duka
satu meronta, yang lainnya menari bersama purnama

dan aku,..
berlari kesana-kemari
mustahil sembunyi
kecuali mati.

harga yang pantas
untuk cinta yang kembali meretas

PUSAT-PINGGIR

aku memanggul waktu, tersayat jemari matahari
kemudian di hantam langit kelam berselingkuh
bergayut bersama asap cerobong pabrik yg beku

paru yg kusam-berlobang
berlomba dg malaikat maut berwajah garang

kaki kecil, dekil menyeret lapar
bibir pecah, pucat-kusam
jd berarti saat kertas suara di bagi
setelah itu dijual,

seharga nasi bungkus dan air mineral

ahh!
manusia-manusia terkutuk
tp niscaya,

babu pememutar roda pedati semesta

ALINEASI ll

keringat kuli menjerit, hardik dentuman palu godam bangunan
mencipta buruh, menganyam kemampuan petanda manusia
menjadi uang perak pengganti tetangga, saudara dan dirinya
menyulap kebahagiaan menjadi hanya sekedar kesenangan
diluar dirinya; kaca sama harga dengan permata.


apakah aku Marxis???

ahh!!!
tidak juga, tanpa dia kenyataan tetap ada
hanya catatan kaki, tak pantaslah jadi isi

ALIENASI 1

Dari TV, hilang separuh tetangga dan saudara
berhembus keinginan melindas kebutuhan
semilirnya, merasuki bagian tubuh, rasa dan jiwa

mandi tak bersabun, tak berpasta tak berkumur
hilang wajah ceria, mengelupas diri manusia purna
terasa mendekam di sudut hidup yg semrawut

manusia jenis baru tumbuh subur dilahan semesta
adanya menggerus penghuni lama
yg telanjang, yg tak indah-tak ramah

Gatotkaca takluk dengan si jaring laba-laba

YA ROBB

Ya Robb
Aku kembali,terimalah aku,
saat getir dunia menghardikku.

Aku bersimpuh,rengkuhlah aku,
saat kesakitan tersenyum padaku.

Aku bersujud, eluslah dadaku,
saat kobaran api neraka mencacah jiwaku.

Ya Robb
aku diam; senandungkan kesepian hati

aku kudus; merasa aliran perih tanpa luka.

Aku menangis; diri yang tertembus kelemahan tak berarti

Ya Robb inilah totalitas kepasrahan hati

MELUKIS GERIMIS

Mencoba
berdamai dengan mendung
menari dengan rinai hujan
bersenda gurau dengan pekatnya malam

bersenandung bersama semilir angin
dan berkelakar dengan guntur yang menggelegar

Mencoba menghibur diri
menenangkan pikiran dan perasaan
karena hati terlanjur hancur-lebur
tercacah oleh paruh sunyi yang runcing.

Senyum ku lukis bersama gerimis
mewarnainya dengan percikan kilat
dengan luka menganga sebagai bingkainya

IRONI

aku melihatnya

ya benar!! aku telah melihatnya;

seorang perempuan mencoba menghapus senja

hingga keremangannya menetes pada cahaya matanya yang semula bercahaya


gelitanya

menembus senyum yang sebelumnya mekar seperti mentari pagi.


"hai perempuan, kembalilah pada diri sendiri, memaafkan luka hati lebih mungkin dari pada mencoba menghapus senja dari langit yang mustahil terluka"

kataku sembari melangkah pergi

TAK INGIN

Aku tidak ingin menulis sajak
hanya merasakan hangat air mata
yang meleleh dari pelupuk dan maniknya

Aku tidak ingin menulis puisi
hanya mendekap keresahan yang berkuasa
melemparku pada sudut bumi yang sunyi

Aku tidak akan bersyair
hanya mengurai dada malam tanpa wajah gemintang
mencumbui aroma darah yang membuncah

Aku tidak ingin menulis
hanya bernyanyi bersama angsa di telaga

PERSEMBAHAN

Menjaring segumpal awan
ku rangkai menjadi kembang
warna kelopak ku taburi dengan gemintang
tapi sayang, menunggu petang,..

dianya sudah menangis
hampir membuang hatinya ke comberan

sabarlah,..

kembang yang tersisa hanya kamboja
indah, tapi pelengkap duka

dan aku yakin,..
kau tak mau menerimanya

sabarlah...

kita tunggu petang sebentar datang

BADAI

inginku selalu bersama badai
bukan menaklukan
tidak mengusai
juga tidak menjinakkan

aku hanya ingin bermain ke sarangnya
naik angin, berkepak melewati sahara
lembah
gunung
dan samudera
kemudian hilang bersama prahara

lantas kembali
menyaku diri pribadi

mengoyak AKU yang angkuh
bersama alam hakikatnya seorang guru
melukis wajah muram dengan goresan keteduhan

aku pergi menunggang badai
kemudian musnah bersama prahara

MALAM

Malam
tolonglah kau jahit kelopak mataku dg lelapmu
lupakan perihnya
karena mimpi sebentar lagi mengobati

Malam
tolonglah kau sulam dadaku yg terkoyak dg ibamu
lupakan sesaknya
karena halimun akan meredamnya

Malam
tolonglah kau rajut perasaanku yg pecah dg senyummu
lupakan lukanya
karena semilirnya angin memunah racunya

Malam
tolonglah kau penggal kepalaku dg sunyimu
lupakan erangannya
karena maut sebentar akan menjemput

HANYA KETIADAAN

malam
ingatan tentang maut tiba mengusir mimpi
semua jadi tak berarti

hanya tersisa keresahan
...semua kebanggaan sirna, menguap
melebur bersama udara

aku kehilangan tubuhku
pun nyawaku tinggal separuh
seolah semakin menjauh dan menjauh
kemudian meluruh

hanya wajah ketiadaan yang berkuasa
dan bertahta; atas aku yang bukan siapa-siapa
ternyata,..

SORE DALAM TINTA PENAKU YANG MURUNG

Kretek Marlboro tinggal separuh
Secangkir kopi, tandas, habis tak sisa
Buku2 gemeletak diatas meja kaca yang buram
Isinya berhamburan keluar, mengais kenyataan
Mengadu tubuh, akal, sore dan hampir senja
Tak menemukan apa-apa selain kekosongan

Lampu lima watt menyala sendu
Tengkar dengan sudut gelap sembari malu-malu
Sedikit membias pada separuh wajahku
Murungku tiba-tiba menguap; menakar gaduh
Anak dan emaknya tentang jemuran kehujanan
Si anak hanya menangis, bermain sisa ingus
Yang bergelayut dengan air mata yang tumpah

Sore puisikan senja yang hampir tiba
Senja nyanyikan wajah malam seolah berduka
Malam ku guratkan penaku diwajahnya
Sekaligus melambai pada senja

Pada kemurungan yang dibawanya
Pada kegelisahan yang dikendarainya
Pada keresahan yang diasuhnya

Kepak lembut burung sriti menyusup langit2
Kembali ke sarang, memagut mesra si kekasih
Hampir lama tak di jamah;
mengais hidup bersama sekawananya
bertahan hidup; itulah cinta baginya

anak-anak kucing mengaing
bergerumbul di kantong shofa usang
mencari induk, semenjak pagi entah kemana
"mencari susu" kata anak kucing
"mencuri sisa ikan di tong sampah" timpal yang lainya
"bukan!!"
semua anak menoleh mendengar kata itu
"mengejar sisa cinta yang dibawa bapak kalian"
Kata induk kucing dengan mata sayu dan berkaca-kaca
"dan itulah cinta kalian" hardik si tikus dengan angkuh

Malam hanya mendengar dengan senyum
Gemintang melihatnya dengan muram
Dan bulan hanya berdecak kagum

Dan aku
Tak berkata apa-apa

SKETSA

Saat fajar mulai tenggelam, perempuan itu datang; dengan tiba-tiba dan barangkali tanpa hati; senandungkan padaku sebuah cerita cinta—dengan darah yang bersimbah diantara nama-namanya. Diantara dunia yang semakin ganjil, keriput yang menjijikkan; aku mengangguk; sejarah cinta bukan tanpa darah didalamnya, suatu hal yang naïf bahkan mustahil, dan aku hanya akan menuliskannya untukmu, bukan siapa-siapa apalagi manusia.
Aku mulai pada September, saat itu dunia menjadi hitam pekat; perjalanan hidup menyendiri, merayakan keterasingan, keterpecahan tiba-tiba, membungkam verbalitas moral dan prilaku yang telah mapan. Orang seakan liar mengenal aku; sementara aku masih sibuk melukis majahnya dalam keremangan; gelita masih menggelayuti hasrat; eja kata masih gagap, dengan tiba-tiba ia menata karangan bunga atas darah yang sebentar lagi membuncah; nadiku yang teriris. Sampaikan karangan bunga itu pada nyawa yang sebentar lagi melayang-layang; hantu dari kota mati. Pekikku pada senja saat itu.
Sepertinya aku harus berkabung; menari bertelanjang ria dibawah terik; meliuk sambil melepas jerat hasrat berbuhul sumpah; sia-sia! Ia telah menjelma manusia tanpa pilihan hidup, sialnya tiap desahan nafasnya mengurangi nyawaku lembar demi lembar, helai demi helai; sampai memberhala. Ketiadaanku dalam diri, selalu direpresentasi; cermin buram tentang alur sejarah, ritus hidup dan makna kematian; cukuplah aku telah berani menempuh kematian tanpa bermimpi sorga; sementara dia sebaliknya; berhasrat sorga tanpa berani mati. Kau! Telah tiada….
Aku harus menulis apa? Kataku menghardik diri sendiri.
Cinta?! Yang–walaupun—tidak lebih sakral dari hanya pertukaran cairan. Dua hasrat lain bertemu dalam satu dunia imajinatif kemudian terpisah satu sama lain setelah—seolah kenikmatan duniawi telah tuntas direngkuhnya; selanjutnya selalu diualang, ditutup-tutupi dan dimapankan menjadi ritus kemudian menjadi mitos; cinta suci yang berbatang tubuh kesetian dan berakar kerinduan adalah tak lebih hanya sekedar mitos; termasuk didalamnya “labirin” dunia hitam-pekatnya; patah, pisah, iris dan bunuh diri. Tidak ada yang sakral turun dari langit Cuma-Cuma! Semua profan; menyejarah kemudian jadilah abstraksi tentang kebenaran yang parsial. Aku mencintaimu adalah kebenaran. Universalitas yang telah aku urai, serat demi serat, dan lapis demi lapis, lantas terciptalah abstraksi cintaku dengan bentuknya yang baru; lain dari wajah cinta manapun.
…….aku mengambilnya dari sari pati eksistensi manusia otentik. Karena itu konsep cinta yang kemarin dulu telah aku urai adalah semacam nyanyian angsa dari kabut kota mati seperti apa yang terjadi saat ini. manusia sama turun drajad sampai menjadi benda, diperjual belikan dengan harganya yang paling murah. Lalu apa yang tersisa? Tidak ada! Kecuali keber-ada-an tanpa makna yang semakin menerobos relung-relung nalar serta mental manusia. Cinta pada akhirnya akan dibawa kepermukaan, pada ambisi menguasai; memanfaatkan dan mendominasi. Insting hewani yang melayang-layang, merengkuh kemudian mengoyak kesetiaan sedemikian rupa.
Suatu malam—hampir senja—bawah sadarku menayangkan slide-demi slide cerita yang mungkin alurnya terbias kemana-mana. Ketak jelasan pusat (inti) dengan pinggir, mampu merubah dengan niscaya potongan-potongan slide itu menjadi cerita utuh, indah, cantik dan harmonis, dan yang penting sangat dramatis sekalipun menjadi seribu potongan (kesatuan yang dinamis; aku pikir). Dengan sangat jelas, perasaan dan konstruksi nalarku melukis wajah seorang perempuan dengan detail dan hidup, akan tetapi rupanya keselarasan dua entitas itu tak mampu ditangkap dan diterjemahkan secara utuh oleh pengucap, varbalitas bahasa merujuk penanda lain; sehingga antara penanda dan petanda tidak mendapatkan kesatuannya. Percikan nama dan abstraksi wajah seseorang kontradiksi dalam dirinya sendiri; padahal keduanya merupakan sejarahku yang nyata akan tetapi berbeda dalam kesatuan. Yang pertama, penanda dari sekian alur romantis yang telah aku tanggalkan dengan sangat sadar. Sebaliknya yang kedua, adalah sketsa sejarah yang kedua kakiku masih menjejak dengan kuat pada bidaknya dan aku sendiri belum mampu melampauinya sekalipun menutup arus pengetahuan yang aku miliki.
Aku melolong; badai dahsyat bergelombang menyapu sekian “konstruksi perasaan” yang telah mapan. Pada akhirnya gerimis membuncah, menambah beban malam semakin mencekam, lautan kesedihan tak bisa aku arungi hanya dengan sampan kayu yang kecil. Gemuruh ombak menghempaskannya pada karang, tubuhku terbelah; kesadaran masa lalu yang optimis, memaknai penantian dengan bentuknya yang paling murni sehingga engkau tetap ada dan hidup dalam dunia yang telah aku ciptakan. Dengan silang sengkarutnya sari yang aku pisahkan dari sekian banyak kenyataan yang menggelayuti. Pada akhirnya yang tertinggal hanya sumpah yang sangat deterministic; membelenggu kebebasanku atas pilihan sebagai manusia. Dan inilah aku; hanya sekedar rajutan sumpah, mimpi dan penantian. Aku tidak akan menulis tentang keber-ada-an, karena telah terhapus kesadaran palsu yang tampak sebagai kenyataan “murni” itu sendiri. Aku sadar kebenaran telah lama hilang, akan tetapi seolah tak pernah aku temukan pilihan ketiga dari; hidup atau mati.
Aku berada pada tapal batas; garis singgung hidup dan mati. Memang aku sengaja. Aku harus hidup kataku, untuk menguji sekaligus mengakhiri “mutiara kata” yang telah aku keluarkan dari esensi tubuhku (walaupun pada dasarnya merupakan kematian), dengan menaklukkan hasrat libido pada “yang lain”, bermain api dalam rimba liar, merengkuh pekatnya malam dengan berbagai kejahatan-kejahatan yang terlanjur dilekatkan pada rekahan dadanya. Aku absahkan sebagai satu-satunya antitesa-penantian yang sering merenggutku.
Aku mati; memahat sendiri pada batu nisan rangkaian namaku yang sengaja aku sakralkan. Pemberhalaan atas sebuah perasaan abstrak, langkah antisipatif aku pikir. Biar Perasaan “yang lain” tak akan “merasa” dua kali, bahkan tak lagi berusaha menerobos beberapa kali. Seolah Batu karang yang telah mengeras ribuan tahun, akan tetapi hanya menunggu waktu untuk hancur. Walaupun perubahan itu tak pernah bisa dihindari; Setidaknya hanya itu yang bisa aku lakukan, untuk menundukkan kepala pada akhirnya atas “mutiara kata” yang aku keluarkan dengan kesadaran dan keyakinan utuh sebagai manusia yang mempunyai segenggam darah berdetak, aku tidak memintanya. Terjadi begitu saja dengan niscaya, dan aku harus menerimanya juga dengan niscaya. Dan…
Engkau bergeming sama sekali. Akan tetapi perasaan cinta yang telah mengakar tidak akan pernah mengalami entropi. Seperti angin yang tidak pernah dapat dihitung jumlahnya, bawang merah yang dikelupas bagian demi bagian dan tidak akan pernah ditemukan isi (inti)nya, dan kesunyian yang tak akan pernah mampu di baca dan ditafsirkan kehadiranya. Dan malam tidak akan pernah mampu dihitung berapa kali aku mendekapkan tubuhku pada pekatnya, seolah aku melihat penyiksaan sampai mati orang-orang yang aku cintai sebelum aku sendiri dieksekusi. Rupannya luka ini membekas terlalu dalam, “permintaan maaf”-pun bisa jadi tidak akan bisa menghapus rasa sakitnya apalagi hanya sekedar mengklaim bahwa semuanya itu terjadi begitu saja, siklus hidup yang harus diterima alurnya; suka atau tidak—kalaupun dia tidak sanggup mengatakan bahwa kesalahan sejarah yang memaksa dia melakukan demikian. Walaupun akibatnya rasa sakit yang tak terperikan. Harus diterima bagaimanapun keadaannya.
Tiba-tiba aku berada dalam belahan bumi yang sakit; sketsa negeri terbuang adalah ejawantah dari sekian lapisan perasaan sakit yang mengendap. Keterasingan, kegetiran, kesendirian, kesepian dan keterbuangan kesemuanya adalah piranti lunak yang sengaja diciptakan untuk memurnikan antitesa-penantian yang terlanjur terdistorsi oleh beragam kenyataan timpang dan anomi yang juga sengaja diciptakan sekaligus dimapankan.
Kau! Adalah tuan atas kedaan ini, sadar atau tidak. Flamboyant yang tumbuh diantara teratai dalam taman surgawi bukannya rimba belantara—yang—pada dasarnya bagian fundamental dan integral atas kehidupan. Bukan hanya sekedar keindahan akan tetapi bagaimana mencoba untuk bertahan dari kepunahan; kemudian meretas “keindahan lain” yang lebih pantas aku lekatkan pada sketsa negeri terbuang yang dihuni oleh kekasihku yang sebenar-benarnya kekasih, ibu dari anak-anakku; dan perempuan pilihan hidup—yang belakangan aku tahu bahwa dia tidak punya pilihan hidup—menjadikannya simbol keterasingan atas dunia yang sebenarnya; dan aku menjadi seorang pelarian; terpidana mati atas pembalikan makna kebenaran bagi kesadaran umum.
Dulu; telah aku lukis dalam kerangka pikirku; nafas pegunungan, hijau dedaunan, buliran-buliran bening embun jatuh pada gemericik air sungai mengalir melalui lembah, kabut tipis turun tergantikan sinar fajar baru berkilauan seperti permata yang seolah sengaja disebarkan dari atap langit. Aku bangun rumah kecil ditengah hamparan rerumputan hijau terhampar sejauh mata memandang, dipagari bunga flamboyant; sebagai penanda penyatuan rangkain masa lalu yang semula berbeda. Suatu pagi; Aku lihat dua anak-anak kecil bermain petak umpet dengan riuh canda tawanya, yang satu mengendap-endap mencari dan yang lain bersembunyi diantara pepohonan yang sedikit rimbun. Riuh tawanya semakin membahana, saat keduanya bertemu, saling mengejar, menghindar kemudian bergulingan pada taman yang sengaja aku tanam rumput-rumput tebal. Mereka berdua menghambur segera pada pelukan seorang perempuan yang sedari tadi melihat mereka dengan tersenyum diambang pintu dengan rambutnya yang tergerai melambai diterpa semilir angin pagi seolah memanggil-manggil, rengkuhan kedua tangannya memberikan kedamaian tersendiri pada kedua anak itu, siang hari mereka berdua terlelap.
Belum genap setahun yang lalu; dialah perempuan terindah yang pernah memelukku. Pada suatu malam tak seperti biasanya, mencekam dan gelap. Suatu malam yang—sampai saat ini—aku tunggu-tunggu lingkaran siklusnya. Sehingga mampu merubah definisiku yang semula; malam yang seolah bertaburan bintang-gemintang, menghiasi bulan sabit laiknya personifikasi seribu malam (kerinduan seorang hamba terhadap belas kasih Tuhan penguasa alam). Aku menitikkan air mata, ketika menulis paragraf ini……..
Aku terus membongkar dan mengais diantara puing-puing reruntuhan masa lalu; membawanya pada permukaan kesadaran; hanya sebagai obat sementara (terasa lebih sebagai candu) antitesa-penantian yang telah meretaskan kesakitan yang “Dahsyat”. Sungguh; pada akhirnya—sekarang, ya sekarang ini—aku tak mampu berharap banyak, semuanya menjadi abstrak, tak jelas kapan lagi aku bermimpi. Karena aku yakin pertemuanku dalam mimpi itulah yang meninggalkan jejak teramat dalam, satu-satunya harapan yang masih tersisa ketika semua pandangan telah kabur dan pendengaran menjadi tersamar. Aku tak mampu melihat diriku sendiri dalam cermin! Biarlah menjadi demikian adanya….dalam tubuhku masih kuat menanggung berapapun besarnya perih yang diakibatkan oleh rangkaian kata yang masih bersembunyi dalam palung hati. Dan
Jika engkau masih saja memamah luka; dan perihnya masih juga kau alamatkan padaku…
Aku akan membunuhmu perlahan-lahan sehingga kaupun lupa akan kematian….inilah janjiku! Janji perih pada lukanya; janji hujan pada mendung; dan janji hidup pada ruh serta janjiku padamu. Aku akan mulai mencekikmu dengan perasaan bersalah, kemudian keresahan dan ketakutan (seperti apa yang terjadi padaku pada bulan September sampai saat ini), dari situ kemudian aku akan menciptakan dunia yang tak akan pernah kau bayangkan sebelumnya; dunia yang hanya berisi siklus tunggal; mencekam; gelap; pekat dan mengerikan (pada sisi ini, aku merenggut sisi kemanusiaanmu yang kemarin dulu tuntas kau senandungkan kemanapun), aku juga akan mencerabut Tuhan pada tiupan awal ruhmu. Seterusnya kau akan menghiba—pada siapapun tak terkecuali padaku—untuk segera mengakhiri hidupmu karena ruang dan waktu telah aku kuasai sehingga dengan sendirinya menghapus ingatanmu akan pilihan bunuh diri bahkan kematian itu sendiri. Dan selamanya engkau akan ingat aku! Bahwa aku adalah maut itu sendiri. Nafas Maut yang terlanjur mencintaimu…….
Karena; kau telah banyak mengajariku bagaimana membunuh (lebih tepatnya menyiksa) dengan luka yang tak tampak; akan tetapi sakit dan perihnya mampu menembus peradaban manusia semenjak lahir hingga akhir hayatnya. “ketidakadanya-ketiadaan” begitu kira-kira aku menyebutnya. Sketsa merebut nyawa dari lawan yang banyak aku timba darimu. Sebentar lagi akan menjadi boomerang, karena karma seingatku belum terhapus dari bayang-bayang hidup, aku memanfaatkan keadaan ini, keadaan yang sedemikian nyata aku gambarkan. Dan tunggulah! waktunya sebentar lagi akan tiba….pekikku. (bersambung)

HANYA SEBONGKAH KATA

Angin mengayun lembut jejaring laba
Isyaratkan bayangan kelam di lantai kusam
Debu bercumbu, beranak pinak pada kain kelambu
Dalam rumah tua; berdinding anyaman wajah ibu bapakku
Kamarku, dengan penuh deretan buku
Muram, lama tak terbuka, tak terjamah dan tak terbaca
Aku tinggalkan begitu saja
Menantang jaman yang mencipta aku papa

Piatu menghias wajahku
Yatim melukis kesendirianku

Rumah tua dengan sepasang pusara muda
Adalah sebongkah kata terpahat ditengah nisan yang tiris
Saat malam, dia bercerita pada ilalang
Pada liat terbekam akar serabut rumput
Pada teriakan pilu yang menghujam batu

Sebongkah kata
aku panggul semakin menjauh dari pusara
Sisa kasih seorang yang mati
Seorang yang terus mencintai
Tak pernah berhenti, terus memberi

Sebongkah kata
Bukan abjad yang terbaca
Hanya setangkup kerinduan pada nyala
Pada rumah tua dengan sepasang pusara muda

Sebongkah kata
Adalah do'a yang ku wirid bersama air mata
Pada orang tuaku
Ibu bapakku

Sebongkah kata
Adalah makna salam sejahtera
Dari seluruh penghuni alam semesta

SERPIHAN MEMOAR 1

Telah tiga hari berlalu, umur semakin bertambah, sementara kumis dan jenggot aku biarkan menggelayut, menghiasi benderangnya wajahku; kini tampak kusam. Dalam dadaku menyimpan persoalan tarik ulur cita-cita (pilihan hidup yang sampai saat ini belum aku temukan wujud kepastiannya) dengan kebutuhan materi yang mendesak untuk bertambah dan terus bertambah. Kenapa hal ini aku anggap sebagai persoalan? Saat pikiranku terfokus pada bertumpuk-tumpuk isi buku; kemudian aku rasakan seolah-olah aku telah menemukan sesuatu didalamnya, wacanaku tentang sastra (beberapa bulan ini aku tenggelamkan diriku membaca novel) dan juga informasi tentang kejadian dalam beberapa bulan ini bertambah sekaligus berkembang. Kebebasan nalarku menjelajah pilihan yang aku inginkan serasa membuat dan menciptakan aku sebagai manusia baru; buku-bukuku adalah belantara kebahagiaan yang banyak menyimpan sejuta informasi, akan tetapi muaranya pada kesungguhan hati untuk merasa gamang jika berhadapan dengan kenyataan. Kenyataan riilku (secara materi dan identitas diri) justru tidak beranjak sama sekali, nyaris sama semenjak tonggak pilihan kerja aku pancangkan sampai saat aku tulis memoar ini. Aku banyak belajar (membaca) akan tetapi gema isi yang aku dapatkan dari dalamnya terasa hilang ditelan kenyataan. Problem yang menurut aku penting untuk ditelusuri dalam konteks personal adalah; tarik menarik (bukan tarik ulur) antara cita-cita yang belum aku temukan wujud kepastiannya dengan kenyataan yang justru berwujud kepastian. Penelurusan yang mungkin bermuara pada penciptaan lapangan kerja sendiri (minimal secara personal aku mampu berdiri sendiri secara materi), tentunya yang sejalan dengan kesukaan aku membaca buku, nyaris mendekati kebiasaan.
Memang; aku sadar sepenuhnya kebiasaan aku ini tidak hanya problem membaca akan tetapi, aku selalu tidak puas kalau tidak mendapatkan buku-buku yang mau aku baca, mungkin aku terlalu angkuh atau justru bahwa aku mempunyai kepentingan tertentu, walaupun masih belum mengemuka akan tetapi telah menggejala; gejala yang sangat susah aku urai hingga pada lapisan terkecilnya. Dalam konteks mendapatkan buku-buku yang menjadi agenda bacaan aku, aku menyisakanya dari uang gajiku, lebih tepatnya bukan menyisakan, karena kata yang terahir ini seolah-olah mampu menjadi sesuatu yang dominan sekaligus prioritas, akibatnya aku merasakan diri aku tidak berkembang kalau aku tidak membaca buku itu, dalam lain perkataan; membelinya. Secara psikologis, perasaan yang demikian ini, mampu menjadi beban yang teramat sangat, maka dengan hutangpun jadilah.
Ada orang yang mengatakan “ membaca buku, kemudian langsung mempraktekkannya dalam kehidupannya nyata, tanpa mendapat penalaran dan pengendapan justru menjadikan racun terhadap kenyataan juga terhadap nalar sekaligus pribadi itu sendiri”. Ada kebenaran tersendiri yang menyeruak dalam diri, saat aku baca kalimat diatas dan berusaha merenungkannya; kalau isi buku itu pasti diposisikan sebagai “panglima” atau “senopati” dalam kehidupan nyata, bisa dipastikan, aku tidak akan selalu merasakan kecemasan. Kehidupan aku akan “mapan” seperti apa yang aku sendiri impikan dan cita-citakan. Memang; buku mempunyai dunia dan imajinasi serta penalarannya sendiri, begitupun juga dengan kenyataan juga memiliki dunia, imajinasi serta nalarnya sendiri. Diantara keduanya memang ada hubungan yang harmonis, akan tetapi juga ada hubungan yang saling meniadakan, bertarung dan mematikan. Terdapat beberapa buku yang ditimba dari kenyataan riil kehidupan, juga ada buku yang ditulis dari kenyataan personal yang berusaha menjelaskan pengalaman pribadi yang bersifat abstrak, mengurai tentang detail persepsi maupun penjelasan tentang sistem dalam dari kenyataan.
Cita-cita atau lebih tepatnya pilihan hidup itu yang masih menjadi sebongkah batu besar, berdiri angkuh tepat didepan mataku, mengahalangi sinar mentari pagi membelai kulit usiaku yang terus mengkeriput; hanya sesekali saja, sinar itu menyusup melewati celah sempit dari pecahan kecil disebelah kiri atas batu tersebut; hanya sebagian kecil, cepat, sebentar kemudian hilang lagi. Sementara martil yang semenjak lahir, tergenggam erat dalam kedua tanganku; telah berkarat tak tahu apa yang harus aku lakukan atasnya. Ya, sebongkah batu cita cita atau pilihan hidup dengan martil; apa yang harus aku lakukan? Membentuknya? Menjadi bentuk apa? Binatang ataukah tumbuh-tumbuhan? Orang lain ataukah diri aku sendiri? Dan akupun masih saja diam menggenggam martil berhadapan langsung dengan sebongkah batu besar. Diam, mematung, tak bergerak, bergeming dengan nalar yang aku timba isinya dari sejumlah buku-buku dan kenyataan hidup. Tegasnya, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, atau dengan kata lain, aku takut membuat keputusan atau pilihan; karena akibat yang mengekor dibelakangnya belum sanggup aku tanggung. Aku diam, stagnan, akan tetapi hidup terus berkelanjutan, bukan aku yang menganyam hidup, tapi hidup itu yang menganyam aku menjadi bukan apa-apa sekaligus hilang keberadaannya.
Sementara, ritus kehidupan terus berjalan, aku belum berbuat apa-apa; hanya nada bicaraku yang sarat dengan konsep juga masa depan yang gemilang bergema kesana-kemari. Sebenarnya, aku sendiri belum yakin dengan detail konsep itu, bagi diri aku sendiri, memang benar itu merupakan penipuan yang bodoh dan culas, selimut hangat yang seolah penting bagi tubuh yang panas, akan tetapi sebebarapapun kenyamanan yang dihasilkannya; tetap menunggu waktu untuk meledak. Selimut penipuan diri (lebih tepat untuk menghibur diri sendiri, karena hilangnya kesadaran yang semakin terkikis oleh “klaim” orang lain) yang terus saja aku wiridkan pada semua orang yang dekat dengan aku. Ada memang perasaan bersalah, tapi saat beban psikologis itu mengemuka, cepat-cepat aku represif sedemikian rupa hingga akhirnya yang tersisa hanya kesadaran atau kebahagiaan palsu yang ditimbulkannya. Aku menjadi seorang pemimpi yang munafik; konservatif dan egois (dan sepertinya dalam wilayah ketaksadaran aku menikmati drama ini), itu kenapa aku tidak lagi mampu beranjak dari imajinasi serta mimpi-mimpi yang aku bangun sendiri. Memang, tak ada hubungannya dengan kenyataan riil, tapi kebutuhan “mimpi” menjadi penting saat orang lain merasa terbebani kenyataan hidup yang seolah selalu memposisikan dirinya antara maut dengan wajah garangnya disatu sisi dengan beban psikologis dari kenyataan keseharian pada sisi yang lain, akan tetapi jika berhadapan dengan kenyataan seolah wajah maut yang demikian ini menjadi wajah kanak-kanak yang nakal, manis dan romantis. Kenyataanlah wajah garang maut yang sesungguhnya; bunuh diri menjadi pilihan buruk dari yang paling buruk. Bunuh diri adalah bentuk pilihan sadar; pelarian dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh kenyataan; bunuh diri justru mendekat pada maut seolah maut adalah kekasih lamanya yang tersembunyi dibalik kelamnya perasaan; kekasih yang menjadi pelarian terahirnya, tempat menumpahkan seluruh keluh kesah, beban yang teramat berat telah ditanggungnya. Maut adalah wajah lain keindahan yang mampu menarik manusia dari segala penjuru semesta; maut menawarkan sari yang manis saat dicerecap, maut menyediakan kelapangan dadanya dari sekian sakit hati yang ditimbulkan oleh kenyataan, maut adalah simfoni yang mendayu-dayu saat perasaan dihempas oleh runyamnya wajah kehidupan. Maut adalah pilihan terahir dari sekian pilihan yang tidak mungkin berahir. Maut merupakan ujung dari jalan yang teramat panjang dan terjal.
Aku terhenyak mendapati muara dari ritus kehidupan yang telah aku urai diatas; selalu saja jatuhnya pada maut; seolah-olah tidak ada lagi muara lain yang lebih rasional yang mampu menjadi jawaban atas problem substansial mengenai kehidupan, baik kehidupan yang bersifat spesifik-personal juga kehidupan yang bersifat keseluruhan. Memang, dan aku meyakini bahwa, seseorang dalam balutan kecemasan yang pekat hampir selalu melihat titik hitam yang diterakan ditengah-tengah sehelai kertas. Titik hitam yang dominan, yang nyaris mempengaruhi pola nalar bekerja serta psikologis yang merasakannya. Kenapa hanya ada titik hitam? Sementara warna putih pada sehelai kertas yang terhampar luas disekelilingnya, seolah-olah tak pernah ada, bahkan nyaris tenggelam oleh satu titik tersebut. Sudut pandang dalam melihat ternyata mampu mempengaruhi keseluruhan kehidupan, dan nyaris hal ini menjadi ideologi. Bagaimana tidak, varian kenyataan yang silang sengkarut tidaklah tunggal; akan tetapi jamak dan warna-warni, mustahilnya hanya menjadi titik hitam. Dari dominasi melihat hanya pada titik hitam ini, kemudian akan berakibat pada sekian pengalaman yang dialami dalam kehidupan nyata menjadi tidak menarik, wadag serta seolah-olah kehidupan tidak pernah bergulir dan beranjak dari tempatnya. Stagnasi ritus kehidupan ini seterusnya dibenamkan dalam wilayah psikologis, mental kemudian diderifasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akibat yang substansial adalah kita tidak benar-benar merasakan menjadi manusia seutuhnya; kita adalah barang rongsokan yang status serta identitasnya lebih rendah dari pada binatang. Mayat hidup yang selalu terpenjara dalam lingkaran setan ritus keseharian. Kalau sudah begini; terus apa yang dinamakan “manusia”????? aku yakin manusia jenis ini tidak mampu menciptakan budaya serta peradaban yang struktur dalamnya melebihi besarnya fisik atau folume otaknya sendiri. Sementara disisi lain, manusia jenis ini masih dibingungkan dengan “pola” bertahan dari gempuran kenyataan riil yang terus menerus menggerusnya menjadi bukan apa-apa dan siapa-siapa.
Dalam konteks kenyataan yang sebegini rumit dan nyaris chaos, maka aku rasa dibutuhkan re-definisi, uraian sekaligus re-konseptualisasi terminologi “manusia”. Apakah ini berarti kita mengulangi ritus yang pernah kita tinggalkan? Yang telah kita jelajahi atau kembali pada langkah awal saat memutuskan bahwa kita adalah benar-benar seorang “manusia” yang sadar atau tidak berhadapan dengan kehidupan nyata?. Karena bisa jadi, ada sesuatu yang terselip, terlupa, tercecer saat kita berusaha mendapati serta menjangkau kehidupan yang seolah-olah gemerlapan (karena aku menganggap bahwa naluri manusia yang masih dipengaruhi oleh mentalitas primitif tidak beda dengan insting hewani; berusaha mengejar apa yang dinamakan “kebahagiaan”, sementara insting hewan juga berlogika “saat ada fenomena yang menguntungkan dia mendekat, juga sebaliknya kalau fenomena tersebut mengancam maka dia akan menghindar atau lari terbirit-birit). Sesuatu yang demikian ini “mungkin” merupakan sesuatu yang dibutuhkan sebagai batu penggosok, dengan harapan “makna” atau “sari” dari ritus keseharan akan menampak dengan sendirinya, tentunya sebagai penyeimbang beban psikologis yang hanya merasakan bahwa subjek tidak lagi direngkuh oleh lingkaran setan hidup itu sendiri. Subjek atau lebih luas lagi manusia akan menjadi independen, merdaka dan bahkan mampu menjadi dirinya sendiri saat berhadapan dengan muka garang kenyataan. Selebihnya, nanti akan mampu menentukan sendiri; apakah melakukan penaklukan terhadap hidup atau justru menyatu dengannya??. Bukan masalah “apa” yang harus dipilih akan tetapi pilihan itu didasari pada kesadaran penuh sebagai manusia utuh yang berhadapan dengan kehidupan, inilah yang menurutku sangat penting.
Manusia--siapapun yang menyandang nama itu—adalah ejawantah bagian keseluruhan dari semesta. Semesta kecil yang justru sangat sulit bahkan rumit untuk dibaca, diterka serta di pahami. Bagian-bagian dalam dirinya yang memungkinkan untuk itu. Mampu berdiri tegak laiknya gunung, menciptakan gemuruh layaknya guntur juga mampu menawarkan racun sebagaimanapun dahsyat racun itu seperti dada samudra. Keterkaitan antara wilayah luar (bio fisik) dengan bagian dalamnya (nalar, perasaan dan intuisi) memungkinkan manusia mampu melebihi tingkah laku yang paling mendasar dari binatang; bahkan dalam sudut pandang tertentu mampu menyatu dengan Sang Pencipta, sesuatu yang mustahil mampu dilakukan oleh “mahluk” lain.
Homo Homini Lupus istilah yang selalu ditahbiskan pada pola laku manusia (kemungkinan tidak hanya terbatas laku; akan tetapi sekaligus nalar berfikir serta intuisi), satu istilah keren yang kelahirannya dibidani filusuf parancis Thomas Hobbes. Hobbes mencoba menggali bagian terdalam yang menjadi dasar sistem berfikir yang kemudian diderivasi menjadi pola prilaku manusia secara umum; manusia—masih menurut Hobbes—seolah sekelompok iblis dan setan yang menjadi tunggal dalam penjelmaannya pada satu tubuh, tidak hanya “dipengaruhi”, akan tetapi tubuh yang melekat dalam diri manusia itulah justru representasi dari sekian entitas lain yang liar, primitif bahkan ganas. Antara tubuh manusia yang satu dengan lainnya seolah menyimpan “entitas lain” dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda, yang satu mampu mencengkram, menguasai bahkan mambunuh yang lain; sementara yang lain hanya diam, tergeletar, dingin dan seolah pasrah dengan keadaan yang demikian hampir menyerupai rimba raya yang eksistensinya justru hanya ada dalam nalar dan imaji manusia (dengan tidak mengatakan “hanya dalam tempurung otaknya Hobbes”). Rimba raya semesta yang hanya absah dihuni oleh tubuh-tubuh yang kosong, kalah dan tersingkirkan oleh “entitas lain” yang menguasainya; entah dalam bayangan hobbes rimba raya yang demikian ini dimana alamat serta detail petanya, yang jelas para penghuninya mampu menjangkau ke dalam bumi kita. bersambung,....

KATA SENJA

Sesaat sebelum aku mati; kenangan-kenanganku datang menghibur, melantunkan dongeng-dongeng masa kecil, masa sebelum aku mengenal kegetiran, kesendirian, dan keterasingan. Masa yang setiap hari hanya mengenal keceriaan, senyum dan pelukan dari orang-orang yang mencintai. Kebenaran mencintai dalam diri masih nisbi karena hati ini telah cukup disemai oleh cinta orang-orang yang mencintai.

Kini Tibalah Kesunyian….

Datang seperti angin ribut, tak tampak mencekam karena bersamaan dengan selubung kebahagiaan, kehendak bebas menentukan langkah menemukan cinta yang sebenar-benarnya cinta. Tapi, sebilah
belati niscaya punya dua mata hati; dan yang tersisa hanya mata hati seorang pembunuh, dan penyamun yang saban hari berpesta mencacah jiwa. Mata hati ini memperoleh kediriannya dalam jumlah nyawa-nyawa yang melayang ditangannya.

Mata hati maut yang sebentar lagi mengantarkan aku dalam peristirahatan abadi, ya sebentar lagi. Aku telah merasakan mata belati ini menyayat-nyayat semua impian dan harapan-harapan yang baru tadi pagi aku sulam dengan kegetiran hidup, keterasingan dan kesepian, sebelum langkah terahirmu menanggalkan semua kepercayaan dan mengganti maut atas semua ini.

Dan Sebelum Ini Semua Berahir….

Aku telah menuliskan semua kata-kata terahirku dalam setiap nafas kebahagiaanmu. Karena sebelum ini,
keindahanmu telah membiarkan aku tergeletak disudut bumi dengan ketakutan menatap kedepan. Kau biarkan aku menggigil sendirian dalam pekatnya malam dalam kubangan do’a-do’a yang mustahil diterima, kaubiarkan aku tenggelam dalam mata air air mata yang ku tumpahkan atas namamu, ya! Hanya atas namamu.

Semenjak itu aku telah menjadi manusia yang tak pernah ada dalam diriku. Hanya Keceriaan masa kecil yang perduli, itupun hanya sebentar sebelum kau paksa fajar merengkuh dan merenggutnya dalam
kesendirian dan kesepianku. Setelah itu, kembali aku terseret dalam malam jahanam, bersamaan dengan itu kaupun mengajari seekor burung kenari bersiul, bernyanyi sembari mengejek ke-manusiaanku dengan orang lain yang mendengarnya merupakan fajar baru dalam mengemis hidup, serta memenuhi tenggorokannya dengan kebahagiaan yang semu.

Gila!
Rindukah aku pada ketenangan jiwa? Sementara ia tak pernah keluar dari tubuh yang disiksa bahkan dibunuh sekalipun. Aku rasa ia kini resah, termangu dan menunggu disingkap perbendaharaan tak terbatasnya. Ia asing dengan dunia luar, yang serba gemerlap, indah dan gila. Ia mensucikan diri dari ritus hidup yang semakin dangkal dan dengan hasrat yang tak pernah terpuaskan kecuali dipasung dengan ajal.

Dulu mereka semua menganggap aku gila “lihatlah ia si gila itu, malah menantang badai, seolah-olah badai mampu memberinya ketenangan jiwa” serempak mereka berteriak demikian. Aku tak menghiraukan apa yang dikatakan bahkan diteriakkan oleh mereka, karena aku yakin suatu saat apa yang aku cari dengan mempertaruhkan sehelai nyawa yang tak sebegitu berharga, akan mereka cari juga. Tapi waktunya telah keburu berahir dan mereka akan menemui ajal dalam kumparan badai yang menggila dengan berlapis-lapis kebodohan atas mereka sendiri.

Benar! Aku mengakui telah salah, tapi sebelum ini semua berahir, aku ingin mengatakan sebagai kata terahir. Ternyata, Badai itu tidak menyimpan apa-apa selain ruang penyiksaan terhadap tubuh, lainnya tidak. Aku kembali setelah nyawa ini tinggal sejengkal, aku berhasil menguncinya dalam tenggorokan. Aku berpaling menyambut badai yang bahkan lebih dahsyat dalam diriku dan aku telah menemukannya, menemukan kedamaian jiwa yang selama ini telah menjadi mitos para “pencari” dengan melampaui bumi. Disini, ya, dalam diri ini kedamaian jiwa telah aku temukan dan hanya tinggal sehasta aku
merengkuh Tuhanku.

Tuhan!
Seumur hidup aku telah mengganti-Mu dengan hasrat memilikinya, keindahan semu dari seseorang yang pada akhirnya tidak pernah aku temukan. Aku tersesat dalam rimba semesta yang menyeret-Mu dalam keterasingan abadi. Kebodohan terbesar, menganggap seorang manusia mampu memberi kedamaian jiwa murni, yang telah aku lupa, kesejatian dan kemurnian hanya pada-Mu, jubah kebesaran-Mu dalam memberi arti dan makna pada setiap nyawa-nyawa yang telah dikorbankan.

Tuhan!
Aku tidak akan pernah memohon ampun atas cinta manusiawi yang telah aku perjuangkan. Kalaupun apa yang aku anggap sebagai kebenaran ini telah salah, aku rela dilemparkan pada nyala-Mu yang
Maha panas. Tapi jika benar, maka rengkuhlah ia dalam ketenangan abadi, setingkat dibawah-Mu. Biarkan ia berjalan pada tulang yang telah digariskan Sayyidanah Umar pada para pemberontak keyakinan-keyakinan atas nama-Mu. Berikanlah kedamaian abadi pada jiwanya yang rapuh, serapuh sarang lebah dalam hempasan badai kebesaran-Mu.

Dan Sebagai Akhir Atas Kata Terahirku….
Relakan ia menyublim bersama Dzat-Mu karena akan membawa keyakinan kebenaran atas cintaku pada kemurnian dan keabadian.

Aku bersimpuh bersama keluarnya nafas dalam tenggorokanku…….

AMOR FATI (semoga menjadi cintaku sejak sekarang)

Amor Fati, Amor Fati, Amor Fati
Terlafaskan tiap penghujung malam
Bukan diatas sajadah;
Tidak dalam masjid, pure atau gereja
Dalam ceruk gua; simfoni air menghujam bebatuan
Keduanya intim; ekstase kesepian
Mengoyak langit; kilatan matamu meradang

Amor Fati, Amor Fati, Amor Fati
Dialah kekasihku; sebenar-benarnya kekasih
Sejak sekarang; selalu menjadi dan baru
Bukan wujud; wadak; atau badaniyah
Tapi “sesuatu” essensial dan transendental

Kecantikan angin
Keindahan semilir
Dan perenungan malam
Ejahwantah dalam diri….nya

Amor Fati, Amor Fati, Amor Fati
Ejah hati menjelang senja
Untuk manusia
Untuk cinta
Manusia cinta
Dan –cinta—dalam dirinya
Mewujud cintaku
Kekasihku
Kekasihku

Amor Fati; Amor Fati

SAJAK BISU

Selamat tinggal sajak bisu
Tentang hati kelam, membiru dan beku
Maknanya adalah nyanyian angsa di pagi buta
Tak terbaca, tak tertafsiri dan tak terpahami
Selain hanya menganyam selera bercinta

Selamat tinggal sajak bisu
Ceritamu hanya sampai disini ahirnya
Guritan kata
Biasan makna
Lantunan irama
Yang mendayu dan merayu
Justru membuat buta
Membuat lena

Selamat tinggal sajak bisu
Biar sementara waktu, ku ikat erat
Dengan wajah muram perempuan lacur jalanan
Ku koyak dengan bocah penyakitan dan busung lapar
Dan ku timbun dengan mata jalang para pembesar
Setubuhi buruh, pkl, dan para petani

Selamat tinggal sajak bisu
Dipinggir penaku mewakili
Ditengah, pusaran kataku jadi tak berarti

Selamat tinggal sajak bisu
Kini aku bukan dirimu

Selamat tinggal

BISIK ANGIN PADA PURNAMA

Apa yang sedang aku rangkai ini yang tiada berbeda dengan semilir angin malam yang menusuk sum-sum; pun tidak lebih nyeri daripada apa yang menusuk dalam hatiku, lebih tepatnya menyayat, melukai hingga bibirku gemetar harus mengerangkan kesakitanya yang sedemikian tak terperikan.
Permintaanmu dengan rajutan kalimat sederhana benar-benar membuatku terperangah; “apa yang harus aku jawab?” pekikku dalam hati; sementara tuntutan menjawab sudah tidak ada penangguhan waktu walaupun sekedipan mata. “kalaupun itu permintaan yang sudah kau yakini, aku menurut, walaupun hatiku sendiri belum yakin mampu melakukannya” jawabku yang separuhnya telah kau terima; dan setengahnya lagi aku ucapkan dalam diri berselaput perih.
Cinta, telah menjadi takdirnya tersepuh dengan kasih sayang; siapapun yang mengatakannya, kau (sayangku), aku sendiri dan mereka semua, teresap sangat indah, membuai seduh-sedan, tawa jugapun air mata, akan tetapi selamanya akan berbuntut runcing seperti ikan pari,…kenapa harus takut kehilangan sayang? Apalah arti kehadiranku juga orang-orang disekelilingmu pada akhirnya kata cinta tidak cukup kuat menciptakan keabadiaan pada mereka, pada orang yang mencintai bahkan engkau cintai sepenuh dan setulus hatimu; keberadaan cinta seperti keberadaan diri kita sendiri, ada kemudian tiada, lahir, seterusnya kematian yang akan berkuasa. Apa yang engkau risaukan sayang? Kau (sayangku) telahpun bertumbuh subur cinta dalam hatimu adalah suatu anugerah (seperti apa yang telah aku katakan), kita tidak pernah bertepuk tangan sebelum kehadirannya, tapi kenapa kita menangisi kepergiannya; bukankah yang demikian ini dinamakan hidup? Tumbuh-hilang-berganti, siklus hidup yang sangat wajar sayang; bukan untuk ditangisi atau disesali tapi untuk dihayati

SAYA DAN ORANG-ORANG KALAH

SAYA DAN ORANG-ORANG KALAH
Bagikan
malam menulis aksara kelam
berebut indah dengan bulan
dengan para penyair, para pujangga dan pemikir
"kesunyian yang merajai" tidak hanya milik siapa
yang terhempas dari tengah, di sudut kamar yang temaram

adalah juga milik saya, bersama orang-orang kalah
memanggul luka, duka dan sengsara,..
dan para gadis dengan belahan dada merekah,..indah
genit tampak pada mata para petinggi negara
sembari senyum simpul, tebarkan neraka pada mereka
orang-orang kalah,
kemanusiaannya tercerabut dari akarnya.

kematian tampak lebih indah dimatanya.

AIR MATA MENJELMA DO'A

pada seseorang

senja bertaburan gerimis tipis
menghadang………,
arak-arakan "Pertalian Agung"
dibawah bayang-bayang kelopak flamboyan
berselimut kabut, sementara matahari membelah bumi

aku mengingatmu,..
pada pelukan,….
dalam tatapan,…
di warung kopi pinggir jalan,…
dingin aspal antara kediri-surabaya,…
mata yang mengeja bintang,…
pada lengan kanan yang terlalu rapuh,…
seolah pagi itu aku menjadi banci,…

aku "ada",…
saat syari’ah dan air mata
saling pasung.,…
ingkar,….
menguasai,….
bergumul,…
kemudian memusnahkan
dalam etalase kaca, pesta para borjuis
apakah ada bintang dibalik sinar bulan?

dua air mata menjadi do’a,..
‘ada’ku adalah cerminan surga
walau entah kapan, engkau tampak jelita
sementara bahasaku bukan suara perkutut
adalah diamku nyanyian angsa pada pagi buta
yang tak mungkin kau dengar,….
seolah kata Tuhan membungkam dengan sajadah
basah, tumpah hasrat primitif yang meluap

‘ada’ku,….
adalah senyum terahir sebelum,…
mati!

HERMENEUTIKA LUKA

mendengar senandung haru biru
menuliskannya diantara bercak darah
dan air mata
kemudian menyimpannya dlm kesabaran seorang ibu

ahh!!!sahabatku
tak ada abadi tersembunyi dr matahari
semua ibarat gelombang samudera
terkadang bergulung2 dahsyat
terkadang tenang,diam,sunyi
dan kudus
jg mengambang seperti buih dan kapal nelayan
yg murung di bibir pantai

keindahan tampak diluar hanya fana semata
sementara diri pribadi adalah makna yg hakiki
walau bahagiannya tersaput perih.

-->untuk seseorang<--

WAJAH KELAM

rembulan berpusing
pada kaca jendela hotel bintang lima

cemerlang seribu gemintang
rela terganti bercak anggur merah delima
birahi berhamburan di tengah meja pertemuan
para petinggi negara

musik menghentak,menghardik kemanusiaan
teriakan comberan,dipadu gempita-tawa mengguncang istana

perempuan2 bermata senja
lelaki berdasi dan berkemeja
melahap payudara
mencerecap vagina
menyuling sperma

air ketuban pecah

si anak mencari emak
si bapak tergelak

ORKESTRA MIMPI BASAH

wajah bocah murung tersaput guratan keriput
tergeletar dipertigaan,meringkuk dibawah tiang stopan
kemeruyuk orkestra perut yg kembang kempis
disemarakkan cahaya bulan dilangit kelam

jalan2 mulai lengang
debu sama berdendang lagu kesunyian
angin berbisik,isyaratkan cinta pd pucuk pohonan
tiang listrik berlomba angkuh dg betis hermaprodite jalanan
pamer sayang,sejatinya birahi dibawah jembatan layang

mimpi basah si bocah
kalahkan keindahan purnama

MALAM JAHANAM

pintu kamarku berderit lirih
ku pergok bayangan resah dibawah ruas kaca jendela
samar wajah kusam tercetak dipenghujung malam
bertafakur, senyap dan kudus memenuhi asap dupa
berganti wangi kasturi

nyanyi sunyi dari hati yang luka
menulis mimpi, melukis harapan yang lelah
tersemai dari pribadi yang lupa dan alpa
limbung ibarat tarian memutar penuh kegaiban
bukan sema', jalan cinta sang sufi menembus mata Tuhan

dalam gelap, mataku tergeletar
jiwaku terikat kuat dari ritus dunia

maut senandungkan lagu kematian
dan aku ketakutan
sungguh!!


sema'-->tarian maulawiyah; gerakannya memutar dengan sebelah tangan menghadap keatas.

SURGA DITEMPURUNG KEPALA SI GILA

kekasihku
aku pamit dulu; menunggang awan bersayap bianglala
menembus celah langit yang masih perawan
melewati suramnya bayang-bayang
menuju gerbang surga, yang masih sepi belum berpenghuni

membaca mitos tujuh bidadari
sembari berimajinasi berbareng digagahi
puncak kenikmatan manusia yang masih diperbudak diri

kaum hawa seolah menjelma lukisan paling indah
tak ada dalam kamus, bidadari adalah pria
kalau begitu dimana tempat tinggalnya?
jangan bilang dineraka,...

apakah benar ini surga?
dangan gemericik kolam susu didalamnya
pelepas dahaga, tenggorokan yang disembelih padang sahara

tapi aku tidak suka susu
aku juga tidak mau surga kalau begitu

baiknya aku kembali ke dunia
karena tidak ada bedanya

dan kitab suci?
hanya selembar kertas putih
untuk bersuci dan berserah diri

hanya itu tidak lebih

kekasihku
maaf, aku harus selingkuh
dengan tujuh bidadari yang jelas bukan kamu

dan cinta

ahh!!
hanya permainan kata-kata rendah
yang hanya ditemui didunia, bukan di surga
tercetak jelas ditempurung manusia gila

KANGEN

tak lelah kaki berdarah
membasahi bebatuan, merajam lalui lembah
keringat bergumul air mata melepas duka
menganyam sebait puisi cinta
untuk yang terkasih diujung sana... Lihat Selengkapnya

ah kerinduan
tidakkah engkau menyesakkan raga
melumerkan jiwa
menyublim dalam nyala asmara

ah kerinduan
terlentang diatas keranda penantian

ah kerinduan.

NYANYI SEPI

belum cukupkan air mata itu menjadi bukti, kalau awan mendung benar-benar menggelayuti hati?
walaupun wajah dan senyum ini mengguratkan keadaan yang wajar-wajar saja, cobalah melihat tidak hanya fisik semata akan tetapi sekaligus dengan kewajarannya, kau akan menemukan kebenaran yang bersemayam dibilik hati yang paling sunyi. cobalah menembusnya maka kau akan menemukan kesejatian yang meringkuk, ringkih dalam tempatnya yang alpa.

nyanyi sepi
aku senandungkan dari kedalaman jiwa yang resah
menjelma irama yang getir
maujud dalam gerak yang tragis.

kisah perjalanan pencarian
tanpa muara dan kepastian
aku tulis dalam kalimat yang menggetarkan
tiap perasaan yang berhasil membacanya.

nyanyi sepi
tunggulah, aku akan menjadikanmu gerak yang eksotis
aku senandungkan bersama hati yang miris.


 

Aksara Berdarah Copyright © 2009 REDHAT Dashboard Designed by SAER