Telah tiga hari berlalu, umur semakin bertambah, sementara kumis dan jenggot aku biarkan menggelayut, menghiasi benderangnya wajahku; kini tampak kusam. Dalam dadaku menyimpan persoalan tarik ulur cita-cita (pilihan hidup yang sampai saat ini belum aku temukan wujud kepastiannya) dengan kebutuhan materi yang mendesak untuk bertambah dan terus bertambah. Kenapa hal ini aku anggap sebagai persoalan? Saat pikiranku terfokus pada bertumpuk-tumpuk isi buku; kemudian aku rasakan seolah-olah aku telah menemukan sesuatu didalamnya, wacanaku tentang sastra (beberapa bulan ini aku tenggelamkan diriku membaca novel) dan juga informasi tentang kejadian dalam beberapa bulan ini bertambah sekaligus berkembang. Kebebasan nalarku menjelajah pilihan yang aku inginkan serasa membuat dan menciptakan aku sebagai manusia baru; buku-bukuku adalah belantara kebahagiaan yang banyak menyimpan sejuta informasi, akan tetapi muaranya pada kesungguhan hati untuk merasa gamang jika berhadapan dengan kenyataan. Kenyataan riilku (secara materi dan identitas diri) justru tidak beranjak sama sekali, nyaris sama semenjak tonggak pilihan kerja aku pancangkan sampai saat aku tulis memoar ini. Aku banyak belajar (membaca) akan tetapi gema isi yang aku dapatkan dari dalamnya terasa hilang ditelan kenyataan. Problem yang menurut aku penting untuk ditelusuri dalam konteks personal adalah; tarik menarik (bukan tarik ulur) antara cita-cita yang belum aku temukan wujud kepastiannya dengan kenyataan yang justru berwujud kepastian. Penelurusan yang mungkin bermuara pada penciptaan lapangan kerja sendiri (minimal secara personal aku mampu berdiri sendiri secara materi), tentunya yang sejalan dengan kesukaan aku membaca buku, nyaris mendekati kebiasaan.
Memang; aku sadar sepenuhnya kebiasaan aku ini tidak hanya problem membaca akan tetapi, aku selalu tidak puas kalau tidak mendapatkan buku-buku yang mau aku baca, mungkin aku terlalu angkuh atau justru bahwa aku mempunyai kepentingan tertentu, walaupun masih belum mengemuka akan tetapi telah menggejala; gejala yang sangat susah aku urai hingga pada lapisan terkecilnya. Dalam konteks mendapatkan buku-buku yang menjadi agenda bacaan aku, aku menyisakanya dari uang gajiku, lebih tepatnya bukan menyisakan, karena kata yang terahir ini seolah-olah mampu menjadi sesuatu yang dominan sekaligus prioritas, akibatnya aku merasakan diri aku tidak berkembang kalau aku tidak membaca buku itu, dalam lain perkataan; membelinya. Secara psikologis, perasaan yang demikian ini, mampu menjadi beban yang teramat sangat, maka dengan hutangpun jadilah.
Ada orang yang mengatakan “ membaca buku, kemudian langsung mempraktekkannya dalam kehidupannya nyata, tanpa mendapat penalaran dan pengendapan justru menjadikan racun terhadap kenyataan juga terhadap nalar sekaligus pribadi itu sendiri”. Ada kebenaran tersendiri yang menyeruak dalam diri, saat aku baca kalimat diatas dan berusaha merenungkannya; kalau isi buku itu pasti diposisikan sebagai “panglima” atau “senopati” dalam kehidupan nyata, bisa dipastikan, aku tidak akan selalu merasakan kecemasan. Kehidupan aku akan “mapan” seperti apa yang aku sendiri impikan dan cita-citakan. Memang; buku mempunyai dunia dan imajinasi serta penalarannya sendiri, begitupun juga dengan kenyataan juga memiliki dunia, imajinasi serta nalarnya sendiri. Diantara keduanya memang ada hubungan yang harmonis, akan tetapi juga ada hubungan yang saling meniadakan, bertarung dan mematikan. Terdapat beberapa buku yang ditimba dari kenyataan riil kehidupan, juga ada buku yang ditulis dari kenyataan personal yang berusaha menjelaskan pengalaman pribadi yang bersifat abstrak, mengurai tentang detail persepsi maupun penjelasan tentang sistem dalam dari kenyataan.
Cita-cita atau lebih tepatnya pilihan hidup itu yang masih menjadi sebongkah batu besar, berdiri angkuh tepat didepan mataku, mengahalangi sinar mentari pagi membelai kulit usiaku yang terus mengkeriput; hanya sesekali saja, sinar itu menyusup melewati celah sempit dari pecahan kecil disebelah kiri atas batu tersebut; hanya sebagian kecil, cepat, sebentar kemudian hilang lagi. Sementara martil yang semenjak lahir, tergenggam erat dalam kedua tanganku; telah berkarat tak tahu apa yang harus aku lakukan atasnya. Ya, sebongkah batu cita cita atau pilihan hidup dengan martil; apa yang harus aku lakukan? Membentuknya? Menjadi bentuk apa? Binatang ataukah tumbuh-tumbuhan? Orang lain ataukah diri aku sendiri? Dan akupun masih saja diam menggenggam martil berhadapan langsung dengan sebongkah batu besar. Diam, mematung, tak bergerak, bergeming dengan nalar yang aku timba isinya dari sejumlah buku-buku dan kenyataan hidup. Tegasnya, tidak tahu apa yang harus aku lakukan, atau dengan kata lain, aku takut membuat keputusan atau pilihan; karena akibat yang mengekor dibelakangnya belum sanggup aku tanggung. Aku diam, stagnan, akan tetapi hidup terus berkelanjutan, bukan aku yang menganyam hidup, tapi hidup itu yang menganyam aku menjadi bukan apa-apa sekaligus hilang keberadaannya.
Sementara, ritus kehidupan terus berjalan, aku belum berbuat apa-apa; hanya nada bicaraku yang sarat dengan konsep juga masa depan yang gemilang bergema kesana-kemari. Sebenarnya, aku sendiri belum yakin dengan detail konsep itu, bagi diri aku sendiri, memang benar itu merupakan penipuan yang bodoh dan culas, selimut hangat yang seolah penting bagi tubuh yang panas, akan tetapi sebebarapapun kenyamanan yang dihasilkannya; tetap menunggu waktu untuk meledak. Selimut penipuan diri (lebih tepat untuk menghibur diri sendiri, karena hilangnya kesadaran yang semakin terkikis oleh “klaim” orang lain) yang terus saja aku wiridkan pada semua orang yang dekat dengan aku. Ada memang perasaan bersalah, tapi saat beban psikologis itu mengemuka, cepat-cepat aku represif sedemikian rupa hingga akhirnya yang tersisa hanya kesadaran atau kebahagiaan palsu yang ditimbulkannya. Aku menjadi seorang pemimpi yang munafik; konservatif dan egois (dan sepertinya dalam wilayah ketaksadaran aku menikmati drama ini), itu kenapa aku tidak lagi mampu beranjak dari imajinasi serta mimpi-mimpi yang aku bangun sendiri. Memang, tak ada hubungannya dengan kenyataan riil, tapi kebutuhan “mimpi” menjadi penting saat orang lain merasa terbebani kenyataan hidup yang seolah selalu memposisikan dirinya antara maut dengan wajah garangnya disatu sisi dengan beban psikologis dari kenyataan keseharian pada sisi yang lain, akan tetapi jika berhadapan dengan kenyataan seolah wajah maut yang demikian ini menjadi wajah kanak-kanak yang nakal, manis dan romantis. Kenyataanlah wajah garang maut yang sesungguhnya; bunuh diri menjadi pilihan buruk dari yang paling buruk. Bunuh diri adalah bentuk pilihan sadar; pelarian dari rasa sakit yang ditimbulkan oleh kenyataan; bunuh diri justru mendekat pada maut seolah maut adalah kekasih lamanya yang tersembunyi dibalik kelamnya perasaan; kekasih yang menjadi pelarian terahirnya, tempat menumpahkan seluruh keluh kesah, beban yang teramat berat telah ditanggungnya. Maut adalah wajah lain keindahan yang mampu menarik manusia dari segala penjuru semesta; maut menawarkan sari yang manis saat dicerecap, maut menyediakan kelapangan dadanya dari sekian sakit hati yang ditimbulkan oleh kenyataan, maut adalah simfoni yang mendayu-dayu saat perasaan dihempas oleh runyamnya wajah kehidupan. Maut adalah pilihan terahir dari sekian pilihan yang tidak mungkin berahir. Maut merupakan ujung dari jalan yang teramat panjang dan terjal.
Aku terhenyak mendapati muara dari ritus kehidupan yang telah aku urai diatas; selalu saja jatuhnya pada maut; seolah-olah tidak ada lagi muara lain yang lebih rasional yang mampu menjadi jawaban atas problem substansial mengenai kehidupan, baik kehidupan yang bersifat spesifik-personal juga kehidupan yang bersifat keseluruhan. Memang, dan aku meyakini bahwa, seseorang dalam balutan kecemasan yang pekat hampir selalu melihat titik hitam yang diterakan ditengah-tengah sehelai kertas. Titik hitam yang dominan, yang nyaris mempengaruhi pola nalar bekerja serta psikologis yang merasakannya. Kenapa hanya ada titik hitam? Sementara warna putih pada sehelai kertas yang terhampar luas disekelilingnya, seolah-olah tak pernah ada, bahkan nyaris tenggelam oleh satu titik tersebut. Sudut pandang dalam melihat ternyata mampu mempengaruhi keseluruhan kehidupan, dan nyaris hal ini menjadi ideologi. Bagaimana tidak, varian kenyataan yang silang sengkarut tidaklah tunggal; akan tetapi jamak dan warna-warni, mustahilnya hanya menjadi titik hitam. Dari dominasi melihat hanya pada titik hitam ini, kemudian akan berakibat pada sekian pengalaman yang dialami dalam kehidupan nyata menjadi tidak menarik, wadag serta seolah-olah kehidupan tidak pernah bergulir dan beranjak dari tempatnya. Stagnasi ritus kehidupan ini seterusnya dibenamkan dalam wilayah psikologis, mental kemudian diderifasikan dalam kehidupan sehari-hari. Akibat yang substansial adalah kita tidak benar-benar merasakan menjadi manusia seutuhnya; kita adalah barang rongsokan yang status serta identitasnya lebih rendah dari pada binatang. Mayat hidup yang selalu terpenjara dalam lingkaran setan ritus keseharian. Kalau sudah begini; terus apa yang dinamakan “manusia”????? aku yakin manusia jenis ini tidak mampu menciptakan budaya serta peradaban yang struktur dalamnya melebihi besarnya fisik atau folume otaknya sendiri. Sementara disisi lain, manusia jenis ini masih dibingungkan dengan “pola” bertahan dari gempuran kenyataan riil yang terus menerus menggerusnya menjadi bukan apa-apa dan siapa-siapa.
Dalam konteks kenyataan yang sebegini rumit dan nyaris chaos, maka aku rasa dibutuhkan re-definisi, uraian sekaligus re-konseptualisasi terminologi “manusia”. Apakah ini berarti kita mengulangi ritus yang pernah kita tinggalkan? Yang telah kita jelajahi atau kembali pada langkah awal saat memutuskan bahwa kita adalah benar-benar seorang “manusia” yang sadar atau tidak berhadapan dengan kehidupan nyata?. Karena bisa jadi, ada sesuatu yang terselip, terlupa, tercecer saat kita berusaha mendapati serta menjangkau kehidupan yang seolah-olah gemerlapan (karena aku menganggap bahwa naluri manusia yang masih dipengaruhi oleh mentalitas primitif tidak beda dengan insting hewani; berusaha mengejar apa yang dinamakan “kebahagiaan”, sementara insting hewan juga berlogika “saat ada fenomena yang menguntungkan dia mendekat, juga sebaliknya kalau fenomena tersebut mengancam maka dia akan menghindar atau lari terbirit-birit). Sesuatu yang demikian ini “mungkin” merupakan sesuatu yang dibutuhkan sebagai batu penggosok, dengan harapan “makna” atau “sari” dari ritus keseharan akan menampak dengan sendirinya, tentunya sebagai penyeimbang beban psikologis yang hanya merasakan bahwa subjek tidak lagi direngkuh oleh lingkaran setan hidup itu sendiri. Subjek atau lebih luas lagi manusia akan menjadi independen, merdaka dan bahkan mampu menjadi dirinya sendiri saat berhadapan dengan muka garang kenyataan. Selebihnya, nanti akan mampu menentukan sendiri; apakah melakukan penaklukan terhadap hidup atau justru menyatu dengannya??. Bukan masalah “apa” yang harus dipilih akan tetapi pilihan itu didasari pada kesadaran penuh sebagai manusia utuh yang berhadapan dengan kehidupan, inilah yang menurutku sangat penting.
Manusia--siapapun yang menyandang nama itu—adalah ejawantah bagian keseluruhan dari semesta. Semesta kecil yang justru sangat sulit bahkan rumit untuk dibaca, diterka serta di pahami. Bagian-bagian dalam dirinya yang memungkinkan untuk itu. Mampu berdiri tegak laiknya gunung, menciptakan gemuruh layaknya guntur juga mampu menawarkan racun sebagaimanapun dahsyat racun itu seperti dada samudra. Keterkaitan antara wilayah luar (bio fisik) dengan bagian dalamnya (nalar, perasaan dan intuisi) memungkinkan manusia mampu melebihi tingkah laku yang paling mendasar dari binatang; bahkan dalam sudut pandang tertentu mampu menyatu dengan Sang Pencipta, sesuatu yang mustahil mampu dilakukan oleh “mahluk” lain.
Homo Homini Lupus istilah yang selalu ditahbiskan pada pola laku manusia (kemungkinan tidak hanya terbatas laku; akan tetapi sekaligus nalar berfikir serta intuisi), satu istilah keren yang kelahirannya dibidani filusuf parancis Thomas Hobbes. Hobbes mencoba menggali bagian terdalam yang menjadi dasar sistem berfikir yang kemudian diderivasi menjadi pola prilaku manusia secara umum; manusia—masih menurut Hobbes—seolah sekelompok iblis dan setan yang menjadi tunggal dalam penjelmaannya pada satu tubuh, tidak hanya “dipengaruhi”, akan tetapi tubuh yang melekat dalam diri manusia itulah justru representasi dari sekian entitas lain yang liar, primitif bahkan ganas. Antara tubuh manusia yang satu dengan lainnya seolah menyimpan “entitas lain” dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda, yang satu mampu mencengkram, menguasai bahkan mambunuh yang lain; sementara yang lain hanya diam, tergeletar, dingin dan seolah pasrah dengan keadaan yang demikian hampir menyerupai rimba raya yang eksistensinya justru hanya ada dalam nalar dan imaji manusia (dengan tidak mengatakan “hanya dalam tempurung otaknya Hobbes”). Rimba raya semesta yang hanya absah dihuni oleh tubuh-tubuh yang kosong, kalah dan tersingkirkan oleh “entitas lain” yang menguasainya; entah dalam bayangan hobbes rimba raya yang demikian ini dimana alamat serta detail petanya, yang jelas para penghuninya mampu menjangkau ke dalam bumi kita. bersambung,....